Ratusan Mahasiswa Indonesia diduga menjadi korban belum sempurnanya skema dan pelaksanaan program kuliah-magang di Taiwan melalui kebijakan New Southbound Policy milik Pemerintah Taiwan. Program ini sejatinya ditawarkan untuk memberi kesempatan kepada pelajar dari Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk kuliah sambil magang di industri Taiwan.
Namun dalam implementasinya, program ini masih bercelah, sehingga banyak dimanfaatkan oleh agen-agen pendidikan yang tidak kredibel. Alhasil, ratusan mahasiswa Indonesia turut menjadi korban kerja paksa di pabrik-pabrik yang ada di Taiwan dengan aturan kerja yang tidak semestinya.
Ketika kasus ini terjadi, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan menjadi salah satu organisasi yang kebanjiran curhat (curahan hati) para mahasiswa yang menjadi korban. Berikut wawancara
Medcom.id dengan Ketua PPI Taiwan, Sutarsis, Mahasiswa semester 5 Material Science and Engineering yang tengah menempuh jenjang S3 di National Central University, Taiwan:
T: Jadi belakangan ini katanya PPI kebanjiran pengaduan terkait kasus ratusan Mahasiswa Indonesia yang diduga jadi korban kerja paksa di Taiwan?
J: Ya. Lumayan banyak. Pengaduan ke kami via medsos PPI Taiwan, grup ketua PPI se-Taiwan. Atau kadang japri langsung ke saya
T: Jadi bagaimana sebenarnya duduk persoalan kasus mahasiswa kerja paksa di Taiwan ini sepanjang pengetahuan PPI?
J: Jadi begini, ada kawan-kawan yang mayoritas lulusan SMK dari Indonesia yang ikut program kuliah magang S1 atau double track. Di samping kuliah mereka ada program magang atau kerja di industri. Aturan kerjanya, maksimal 20 jam/minggu, itu menurut ketentuan Pemerintah Taiwan.
T: Jadi program New Southbound Policy yang ditawarkan kepada mahasiswa di Asia Tenggara termasuk Indonesia oleh pemerintah Taiwan itu bukan program beasiswa?
J: Mereka memang harus bekerja untuk biayai kuliah mereka. Di mana program ini bukan program beasiswa. Sekali lagi, program ini adalah kuliah-magang atau belajar sambil bekerja. Bukan beasiswa dan mereka harus keluar biaya sendiri.
T: Kemudian di mana titik celahnya, sehingga program ini sebagiannya bisa berakhir sebagai pekerja paksa?
J: Permasalahan dari program double track yang relatif baru ini memang masih banyak, seperti ketentuan jadwal kuliah dan magang yang belum fix. Ada peran agen pendidikan yang tidak kredibel juga saat rekruitmen dan menimbulkan masalah.
Di mana kadang yang dijanjikan (agen pendidikan) soal beasiswa di awal tahun, jurusan kuliah, dan kepastian magang (waktu dan kesesuaian pekerjaan) juga tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
T: Untuk mencegah kerja paksa terjadi lebih masif lagi, apa imbauan PPI?
J: Kami mengimbau agar para orangtua atau pihak sekolah (di Indonesia) agar bijak dan cerdas mengambil peluang ini. Terutama pihak sekolah asal, saya imbau untuk mau kontak bahkan MoU langsung dengan universitas. Tidak hanya percaya agen pendidikan.
T: Jadi rata-rata sekolah kita hubungannya dengan agensi pendidikan ya, bukan pihak kampus langsung?
J: Betul. Jadi program (New Southbound Policy) ada sebagian yang masih belum sesuai, masih ada yang melebihi dari ketentuan jam kerja yaitu maksimal 20jam/minggu. Tapi ada juga yang sudah baik pengaturannya.
T: Ada berapa kampus yang ikut dalam program ini?
J: Ada sekitar 10 universitas di Taiwan yang menyelenggarakan program ini dengan siswa dari Indonesia.
T: Program kuliah-magang ini bukankah sudah dipayungi perjanjian G to G, harusnya aman ya?
J: Sebenarnya, kerja samanya memang G to G antara Pemerintah Indonesia dan Taiwan. Tapi di bawah payung kerja sama ini banyak yang memanfaatkan.
Salah satunya, agen-agen pendidikan yang mencarikan calon siswa untuk universitas di Taiwan itu. Program di bawah New Southbond Policy yang digunakan adalah Industria Academia Collaboration, itu yang dimanfaatkan agen.
T: Jika PPI amati, celah-celah apa saja yang bisa dimanfaatkan agen pendidikan yang tidak kredibel dalam program ini?
J: 1. Biaya pemberangkatan yang tidak ada ketentuan dan tidak ada yang mengatur. Ini kadang sangat fleksibel ditentukan agen.
2. Soal kepastian tempat kerjanya juga tidak ada kepastian sejak di awal.
3. Demi memperoleh siswa kadang janji yang disampaikan tidak sesuai.
T: Berpotensi terjadi Human Traficking?
J: Menurut saya sebenarnya program ini legal, ada payung hukumnya juga di Taiwan. Namun karena ini baru dan detail implementasi belum mapan, sehingga banyak celah yang dimanfaatkan untuk keuntungan tertentu. Ditambah lagi, Perwakilan Pendidikan RI belum ada di Taiwan. Jadi belum ada monitoring.
T: Masukan PPI untuk Pemerintah Indonesia.
Masukan kami, ada 6.000 mahasiswa Indonesia di Taiwan butuh kehadiran Pemerintah RI di sini dalam wujud staff pendidikan selevel atase. Sehingga ketika poin di atas terjadi maka diharapkan ada pengelolaan dan monitoring serta evaluasi secara continue terhadap implementasi kerja sama pendidikan Indonesia-Taiwan.
T: Berdasarkan data PPI, ada berapa Mahasiswa yang ikut program ini?
J: Kalau program kuliah magang S1 ini sekarang mungkin lebih dari 800 mahasiswa. Jadi yang kami perlu tekankan tidak semua kena masalah seperti yang diberitakan.
Sumber: MetroNews