Kraton Cakraningrat IV Disulap Jadi Ponpes Sembilangan
27 Juni 2015, 09:00:03 Dilihat: 1449x
MADURA - Pondok Pesantren (Ponpes) Sembilangan terletak di ujung Barat Bangkalan, tepatnya berada Desa Sembilangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Untuk sampai ke sana tidak terlalu sulit dan hanya membutuhkan waktu sekitar 25 menit dari pusat pemerintahan kota salak.
Sebab, jaraknya sekira 20 kilometer (KM). Ponpes ini sendiri merupakan salah satu pondok tertua yang ada di Bangkalan. Diperkirakan usia dari ponpes tersebut sekitar 270 tahun silam. Pasalnya, sebelum dijadikan lembaga pendidikan, dulu ponpes itu merupakan sebuah keraton.
Di mana menjadi pusat pemerintahan ketika Raden Djurit, Cakraningrat IV memimpin Madura Barat sejak 1718 sampai 1745. Namun, dalam perjalanan waktu keraton berubah menjadi ponpes Sembilangan. Hal ini terjadi setelah putri Cakraningrat IV menikah dengan Kiai Abdul Karim, cucu dari Sunan Cendana.
Saat hendak memasuki ponpes suasana keraton memang sudah terasa. Banyak pagar rumah warga hanya terbuat dari batu karang. Batu tersebut tidak dilekatkan dengan semen, melainkan hanya ditata langsung seperti zaman dulu.
Ketika masuk ke halaman ponpes juga terlihat sejumlah benda peninggalan keraton. Misal, sebuah kereta yang berusia sekitar ratusan tahun. Kemudian ada bangunan kuno yang masih kokoh di komplek ponpes Sembilangan. Bangunan tersebut warisan dari keraton Cakraningrat IV yang wafat di daerah pengasingan, Tanjung Harapan di Afrika Selatan (Afsel).
Selain itu, di belakang bangunan kuno juga terdapat sebuah kolam atau Patertan, sebutan sumber air tempat mandi putri-putri keraton pada masa Kerajaan Cakraningrat IV. Kedalam air pada kolam ini tidak terlalu dalam, hanya sekitar setengah meter. Di dalam kolam banyak ikan bileng, bentuknya seperti ikan lele. Kini, sumber air tersebut dikeramatkan.
"Ponpes ini usia sudah ratusan tahun yang lalu. Bisa jadi salah satu ponpes tertua disini. Karena pertama kali yang mendirikan ponpes ini menantunya Cakraningrat IV yakni Kiai Abdul Karim," terang Pengasuh Ponpes Sembilangan, KH Moh Sofwen, ketika dikonfirmasi wartawan.
Sofwen menceritakan, dulu para santri di ponpes Sembilangan ikut membantu perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dalam melawan penjajah. Sebab, para santri selain dibekali ilmu tentang agama, juga diajari ilmu untuk melindungi diri sendiri seperti pencak silat.
"Disini banyak ditemukan benda peninggalan zaman keraton seperti kereta yang berusia 200 tahun dan pintu gerbang, yang dibangun pada tahun 1939. Disamping itu, juga ada tombak sisa dari kerajaan Cakraningrat IV," ucap keturunan keenam dari Kiai Abdul Karim itu.
Menurut Sofwen, sejarahnya keraton berubah menjadi ponpes Sembilangan bermula ketika Putri Cakraningrat IV menikah dengan Kiai Abdul Karim. Seiring dengan perkembangan zaman dan peralihan kekuasaan, akhirnya keraton tesebut jadi pesantren.
Semua benda peninggalan keraton Cakraningrat IV masih dirawat dengan baik secara turun temurun. Sehingga benda-benda saksi sejarah dalam kondisi bagus, salah satunya bangunan keraton. Pihaknya tidak berani merubah wajah dari bangunan keraton.
"Kami hanya memperbaiki jika ada bangunan yang rusak. Misal, tembok mengelupas dan melakukan pengecatan dengan warga yang sama. Sehingga tidak sampai merubah wajah asli dari bangunan kuno ini. Sampai sekarang masih ditempati," ucapnya.
Begitu juga dengan kolam, sambung Sofwen, yang merupakan tempat pemandian para putri keraton Cakraningrat IV. Sampai saat ini kondisi masih bagus dan sumber airnya masih ada. Banyak warga yang datang kesana untuk mengetahui secara langsung seperti apa bentuk kolamnya.
"Bagi warga yang datang ke kolam diharapkan mematuhi aturan yang ada. Supaya benda bersejarah tersebut masih tetap ada," ucapnya.
Pengunjung yang datang kesana dilarang mandi di kolam. Hanya saja pengunjung diperbolehkan berwudu dan mengambil air secukupnya. Sebagian masyarakat menyakini air yang ada pada sumber tersebut bisa menyembuhkan sejumlah penyakit.